SMAN 3 Pemalang
Pernikahan Dini
Jurnal

Pernikahan Dini

Nikah merupakan ikatan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Dalam suatu pernikahan ada ikatan hukum dan agama yang menjadi dasar terjalinnya antara dua manusia laki-laki dan perempuan pada ikatan yang halal. Pernikahan dini ( menurut UU No 19 Th 2019 yang merupakan perubahan dari UU No 1 Th 1974 tentang perkawinan ) bahwa pernikahn hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 tahun.

Pernikahan dini (early married) menurut WHO, adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia dibawah usia 19 tahun. Menurut UNICEF bahwa pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilaksanakan secara resmi atau tidak resmi yang dilakukan sebelum usia 18 tahun. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Apabila ada pernikahan yang dilangsungkan dibawah umur 18 tahun maka disebut dengan pernikahan dini. Pernikahan dini memunculkan berbagai macam potensi seperti kekerasan seksual dan pelanggaran hak asasi manusia. Pernikahan dini di usia remaja lebih beresiko dan bisa berujung pada perceraian. Dilihat dari sisi medis dan psikologis, usia tersebut terbilang dini untuk menghadapi masalah – masalah yang terjadi pada pernikahan.

Di Indonesia pernikahan dini terjadi dengan beberapa alasan seperti, menghindari fitnah karena anaknya sudah runtang – runtung selalu berdua kemana-mana yang memungkinkan terjadinya hubungan seks diluar nikah, Orang tua juga ada yang menikahkan anaknya yang masih remaja karena faktor ekonomi. Dengan menikahkan anaknya maka beban orang tua dalam menghidupi anak tersebut berkurang, karena anak perempuan yang sudah menikah akan menjadi tanggung jawab suaminya setelah menikah. Anak yang telah dinikahkan diharapkan memiliki penghidupan perekonomian yang lebih baik. Tapi faktanya bila anak putus sekolah dan berpendidikan rendah justru akan memperpanjang rantai kemiskinan. Terjadinya pernikahan dini justru pada golongan masyarakat menengah kebawah.

Risiko yang ditimbulakan terjadinya pernikahan dini pada kalangan remaja berdampak beberapa hal, misalnya; Meningkatkan risiko penyakit seksual. Hubungan seksual dilakukan seseorang dibawah usia 18 tahun cenderung berisiko terkena penyakit seksual seperti HIV, karena pengetahuan tentang seks yang sehat dan aman sangat minim.

Risiko kekerasan seksual meningkat. Menikah dibawah usia 18 tahun lebih sering mengalami kekerasan dari pasangannya. Kurangnya pengetahuan dan pendidikan, perempuan usia muda lebih sulit dan cenderung tidak berdaya menolak hubungan seks, kekerasan seks semakin tinggi terutama jika jarak usia antara suami dan istri semakin jauh.

Risiko pada kehamilan meningkat. Kehamilan di usia dini bukanlah hal yang mudah dan cenderung lebih berisiko. Risiko terjadi bukan hanya pada ibu juga janin yang dikandungnya. Risiko pada janin bisa terjadi bayi lahir prematur dan berat badan saat bayi lahir rendah. Bayi mengalami masalah tumbuh kembang lebih tinggi sejak lahir, ditambah kurangnya pengetahuan orang tua dalam merawatnya. Ibu yang masih remaja lebih berisiko mengalami anemia dan preeklamsia ( komplikasi kehamilan yang ditandai dengan tekanan darah tinggi). Jika preeklamsia sudah menjadi eklamsia kondisi akan membahayakan ibu dan janin bahkan dapat mengakibatkan kematian.

Risiko masalah psikologis. Dampak psikologis yang terjadi pada perempuan yang menikah di usia dini, semakin muda usia perempuan saat menikah, maka semakin tinggi risikonya terkena gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, gangguan mood, dan depresi di kemudian hari.

Risiko memiliki tingkat sosial dan ekonomi yang rendah, Bukan hanya dari segi kesehatan saja tapi pernikahan dini juga bisa dikatakan merampas hak masa remaja perempuan itu sendiri. Masa remaja yang seharusnya dipenuhi dengan bermain dan belajar untuk mencapai masa depan dan kemampuan finansial jauh lebih baik. Namun kesempatan itu justru terbalik yang dihadapinya beban pernikahan dan mengurus anak. Sebagian anak – anak yang menjalani pernikahan dini cenderung mengalami putus sekolah, karena mau tidak mau harus memenuhi tanggung jawabnya setelah menikah. Begitu juga dengan remaja laki-laki yang secara psikologis belum siap untuk memberi nafkah dan berperan sebagai suami dan ayah.

Menikah bukan sesederhana yang dibayangkan. Perlu kematangan baik dalam fisik, psikologis, maupun emosional. Hal inilah yang mendasari pernikahan dini tidak disarankan dan alasan angka pernikahan dini harus ditekan. ( Nur Chafidah – SMAN 3 Pemalang )

Bagikan